Selasa, 14 Desember 2010

Keanehan yang Dibuat-buat Pada Bulan Rajab

Oleh: Badrul Tamam
Al-hamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah untuk Rasulullah, penutup para nabi dan Rasul, beserta keluarga dan para sahabatnya. . .
Kaum muslimin mengetahui bahwa bulan Rajab termasuk salah satu dari bulan-bulan haran yang Allah sebutkan dalam firman-Nya,
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu." (QS. Al-Taubah: 36)
Dan disebutkan dalam Shahihain, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam saat berkhutbah pada haji Wada' mengatakan,
إِنَّ الزَّمَانَ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
"Sesungguhnya zaman telah beredar sebagaimana yang ditentukan semenjak Allah menciptakan langit dan bumi. Dalam setahun terdapat dua belas bulan diantaranya empat bulan haram; tiga bulan diantaranya berurutan, (keempat bulan haram itu adalah) Dzulqa’dah, Dzulhijjah Muharram dan Rajab bulan Mudhar yang berada diantara Jumada (Akhirah) dan Sya’ban." (HR. Bukhari dan Muslim)
Kenapa dinamakan bulan haram?
Para ulama berselisih pendapat mengenai sebab penamaan bulan haram ini. Sebagian mereka mengatakan, dinamakan bulan haram dikarenakan besarnya kehormatan dan keagungan bulan-bulan tersebut serta besarnya akibat dari dosa yang dilakukan padanya. Ibnu Abi Thalhah dari Ibnu Abbas radliyallahu 'anhu mengatakan, "Allah menghusukan empat bulan yang Dia jadikan sebagai bulan-bulan haram, mengagungkan kehormatannya, menjadikan dosa yang dikerjakan di dalamnya jauh lebih besar (dari bulan-bulan lainnya) dan Dia menjadikan amal shaleh dan pahala (di bulan tersebut) juga lebih besar."
Sebagian pendapat yang lain mengatakan, karena diharamkan perang di dalamnya. Dan tentang larangan berperang pada bulan ini sudah menjadi kebiasaan orang-orang jahiliyyah sejak dahulu, bahkan sejak masa Nabi Ibrahim 'alaihis salam.
. . dinamakan bulan haram dikarenakan besarnya kehormatan dan keagungan bulan-bulan tersebut serta besarnya akibat dari dosa yang dilakukan padanya.
Kenapa dinamakan bulan Rajab?
Menurut Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah, dinamakan bulan Rajab karena dia diagungkan atau dihormati. Jika dikatakan rajaba fulanun maulaahu (Si fulan menghormati tuannya). Kaum jahiliyah sejak dahulu telah mengagungkan dan menghormati bulan ini.
Sebagian ulama, sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam Lathaif Al Ma’arif, bahwa bulan Rajab memiliki sekitar 14 nama dan sebagian lagi menyebut hingga 17 nama. Di antaranya adalah Rajab (mulia, terhormat, agung), Rajab Mudhar (sangat, lebih kemuliaan dan keharamannya), Munshil Asnah (melepas anak penah), Al-Ashamm (tuli), Al-Ashabb (mengena, mendapatkan), Munfis (yang indah dan bagus), Muthahhir (mensucikan, membersihkan), Ma'la (tempat tinggi), Muqim (berdiam diri), Haram (lemah tua), Muqasyqisy (terpelihara), Mubri' (bebas, lepas), Fard (menyendiri), sebagaimana sebagian yang lain menyebutnya sebagai Syahrullah (bulan Allah).
Kata rajab juga memiliki beberapa bentuk jama', di antaranya Arjaab, Rajabaanaat, Arjabah, Araajib dan Rajaabii, sebagaimana yang disebutkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar yang menukil penjelasan dari Ibnu Dihyah (Lihat Muqaddimah Tabyiin Al ‘Ajab)
 . . dinamakan bulan Rajab karena dia diagungkan atau dihormati.
Pengagungan orang jahiliyah terhadap bulan Rajab
Sejak dahulu, bangsa jahiliyah telah mengagungkan bulan Rajab ini, khususnya kabilah Mudharr. Karenanya disebutkan dalam hadits رَجَبُ مُضَرَ (rajab Mudharr). Ibnul Atsir dalam al-Nihayah, berkata: "Diidhafahkannya Rajab kepada Mudharr, karena mereka sangat-sangat mengagungkannya (bulan Rajab) yang berbeda dengan lainnya. Seolah-olah mereka semata yang mengistimewakannya."
Sejak dahulu pula, masyarakat jahiliyah telah mengharamkan perang pada bulan itu sehingga mereka menamakan perang yang terjadi pada bulan-bulan tersebut dengan Harbul Fujjar (perangnya orang-orang jahat), mereka bersama-sama melakukan doa pada hari kesepuluh dari bulan itu untuk mendoakan keburukan bagi orang dzalim, dan doa mereka dikabulkan.
"Sesungguhnya Allah membuat hal itu bagi mereka untuk mengekang sebagian mereka dari yang lain. Dan sungguh Allah menjadikan hari kiamat sebagai hari yang dijanjikan bagi mereka, sedangkan hari kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit," kata Umar bin Khathab radliyallahu 'anhu.
Mereka dahulu juga biasa menyembelih binatang sembelihan yang dinamakan Al-Athirah, yaitu kambing yang disembelih sebagai persembahan bagi berhala-berhala mereka, sedangkan darahnya dituangkan di atas kepala berhala itu. Lalu Islam membatalkan perbuatan itu berdasarkan riwayat Shahihain, "Tidak ada Fara' (anak pertama dari unta atau kambing yang disembelih sebagai persembahan bagi berhala) dan 'Athirah (hewan yang disembelih pada sepuluh hari pertama dari bulan Rajab sebagai persembahan bagi berhala, juga dikenal dengan Rajabiyah)."
Sebagian ulama salaf berkata, "Bulan Rajab adalah bulan menanam, Sya'ban bulan menyirami tanaman, sedangkan bulan Ramadlan adalah bulan memetik/memanen."
Diriwayatkan Al-Baihaqi dalam Syu'abul Imam dan Al-Da'awat al-Kabiir, dari Anas bin Malik berkata, "Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam apabila memasuki bulan Rajab, beliau berdoa, Allahumma Baariklanaa Fii Rajaba wa Sa'baana wa Ballighnaa Ramadhaan (Ya Allah berkahilah kami dalam bulan Rajab dan Sya'ban serta sampaikan kami pada bulan Ramadlan)." Namun sayang hadits ini lemah sehingga tidak bisa diamalkan.
"Bulan Rajab adalah bulan menanam, Sya'ban bulan menyirami tanaman, sedangkan bulan Ramadlan adalah bulan memetik/memanen."
Bid'ah mungkar di bulan Rajab
Banyak orang yang membuat hal-hal baru (amal-amal bid'ah) dalam pada Rajab. Padahal Allah tidak pernah menurunkan tuntunan tentangnya, sementara para ulama telah memperingatkan, sebagaimana yang dilakukan Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Al-Syaathibi, Ibnu Rajab al-Hambali, al-Thurthusi, Ibnul Hajar, Syaikh Ali Mahfudz, Syaikh Ibnu Bazz, Syaikh Utsaimin, Syaikh Al-Fauzan, Syaikh Al-Albani dan lainnya rahmatullah 'alihim 'ajmain.
Berikut ini kami sebutkan beberapa kebid'ahan yang marak terjadi pada bulan Rajab. Kami menyebutkan ini tidak lain agar kita mengenalnya dan tidak tertipu olehnya, sebagaimana ungkapan syair, "Aku mengetahui keburukan bukan untuk mengamalkannya, tapi untuk menjauhinya. Siapa yang tidak mengetahui keburukan bisa dipastikan akan terjerumus ke dalamnya."
1. Shalat Alfiyah, yaitu shalat 100 rakaat dengan membaca surat Al-Ikhlash sebanyak 10 kali pada setiap rakaat, jadi jumlah surat Al-Ikhlash yang dibaca sebanyak seribu rakaat. Shalat ini dikerjakan pada hari pertama dari bulan Rajab dan pada pertengahan Sya'ban (nisfu Sya'ban).
2. Shalat Umi Dawud, yaitu shalat yang dilaksanakan pada pertengahan Rajab (nisfu Rajab), sebagaimana yang disebutkan Syaikhul Islam dalam Al-Iqtidha' hal. 293.
3. Shalat Raghaib (terkadang disebut dengan shalat Itsna 'Asyariyah), yaitu shalat malam Jum'at pertama dari bulan Rajab sesudah Isya'. Jumlah rakaanya dua belas. Pada setiap rakaat dibaca surat Al-Fatihah sekali, Surat al-Qadar tiga kali, dan surat Al-Ikhlas dua belas kali. Setiap dua rakaat ada salam. Shalat  ini tidak pernah dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya. Shalat ini dikenal setelah tahun abad keempat Hijriyah. Ibnu Rajab berkata dalam Lathaif al-Ma'arif (hal. 140), "Adapun shalat, tidak dibenarkan adanya shalat khusus yang dikerjakan pada bulan Rajab. Sedangkan hadits-hadits yang menyebutkan keutamaan shalat Raghaib pada malam Jum'at pertama dari bulan rajab adalah hadits dusta, batil, dan tidak sah."
". . . . Sedangkan hadits-hadits yang menyebutkan keutamaan shalat Raghaib pada malam Jum'at pertama dari bulan rajab adalah hadits dusta, batil, dan tidak sah." Ibnu Rajab
4. Puasa sunnah pada bulan rajab. Tidak ada hadits shahih marfu’ yang mengkhususkan puasa sunnah di bulan Rajab, baik pada hari pertama, kedua, ketiga, ketujuh, atau pada keseluruhannya. Sedangkan hadits-hadits yang menunjukkan adanya puasa model di atas, statusnya maudhu' (palsu). Di antaranya, hadits yang menyebutkan: "Siapa yang puasa tiga hari pada bulan Haram, yaitu hari Kamis, Jum'at, dan Sabtu, maka Allah akan mencatat baginya pahala ibadah 700 tahun," dan dalam riwayat lain, "60 tahun". Hadits lainnya, "Puasa hari pertama dari bulan Rajab merupakan kafarat (penghapus dosa) untuk tiga tahun, pada hari kedua sebagai kafarat untuk dua tahun, lalu pada setiap harinya untuk kafarat selama satu bulan." Hadits yang lain yangtidak kalah masyhur, "Rajab adalah syahrullah (bulan Allah), Sya'ban adalah bulanku (Nabi Muhammad), dan Ramdlan adalah bulan umatku." Semua riwayat ini adalah palsu dan dusta.
Sedangkan mengisi bulan Rajab dengan puasa sebulan penuh telah diingkari oleh para ulama. Beberapa sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam diantaranya Aisyah, Umar bin Khaththab, Abu Bakrah, Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiyallahu 'anhum jami’an telah mengingkari orang yang berpuasa penuh di bulan Rajab atau mengkhususkan puasa di bulan Rajab.
Ibnu Rajab berkata, "Adapun puasa, tidak ada keterangan yang sah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya tentang keutamaan puasa khusus pada bulan Rajab."
Diriwayatkan dari Umar bin Khathab radliyallahu 'anhu, bahwa beliau pernah memaksa seseorang untuk membatalkan puasa Rajab dan berkata, "Apa itu (puasa) Rajab? Sesungguhnya Rajab diagungkan oleh orang Jahiliyah, maka ketika datang Islam hal itu ditinggalkan."
Ibnul Hajar berkata dalam Tabyin al-'Ajab bimaa Warada fii Fadhli Rajab : "Tidak terdapat dalil shahih yang layak dijadikan hujah tentang keutamaan bulan Rajab dan tentang puasanya, tentang puasa khusus padanya, dan qiyamullail (shalat malam) khusus di dalamnya." 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata tentang hadits-hadits keutamaan berpuasa dan shalat khusus di bulan Rajab, “Seluruhnya dusta menurut kesepakatan para ulama.”
Syaikh Utsaimin rahimahullah berkata, “Tidak ada keutamaan khusus yang dimiliki oleh bulan Rajab dibandingkan dengan bulan-bulan haram lainnya, tidak dikhususkan umrah, puasa, shalat, membaca Al-Qur'an bahkan dia sama saja dengan bulan haram lainnya. Seluruh hadits-hadits yang menyebutkan keutamaan shalat atau puasa padanya maka derajatnya lemah yang tidak boleh dibangun di atasnya hukum syar’i”
Tidak ada hadits shahih marfu’ yang mengkhususkan puasa sunnah di bulan Rajab, baik pada hari pertama, kedua, ketiga, ketujuh, atau pada keseluruhannya.
Namun bukan berarti berpuasa sunnah seperti puasa Senin-Kamis, tiga hari setiap bulan, Puasa Dawud, atau puasa mutlak pada bulan Rajab tidak diperbolehkan. Ibnu Shalah rahimahullah berkata, “Tidak ada hadits shahih yang melarang atau menganjurkan secara khusus berpuasa di bulan Rajab maka hukumnya sama saja dengan bulan lainnya yaitu anjuran berpuasa secara umum."
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Tidak ada larangan demikian pula anjuran secara khusus untuk berpuasa di bulan Rajab akan tetapi secara umum hukum asal puasa adalah dianjurkan."
5. Berziarah ke kuburan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pada bulan ini. Menziarahi kuburan dan Masjid Nabi shallallahu 'alaihi wasallam disyariatkan sepanjang tahun, sebagaimana amal-amal taqarrub dan ketaatan lainya. Tetapi, menghususkan pada bulan ini termasuk bid'ah yang tidak memiliki landasan dalil. Menghususkan waktu ibadah yang tidak pernah Allah dan Rasul-Nya khususkan waktunya, maka termasuk bid'ah yang haram. Maka perhatikanlah hal ini. Dan sesungguhnya Syaikh Al-Albani dalam Ahkam al-Janaiz wa Bida'uha (Hukum-hukum seputar penyelenggaraan jenazah dan kebid'ahan-lebid'ahannya) telah menyebutkan keterangan ini dengan gamblang.
Menghususkan ziarah kubur ke makam Nabi pada bulan ini termasuk bid'ah yang tidak memiliki landasan dalil.
6. Memperingati Isra'-Mi'raj pada malam ke dua puluh tujuhnya, membaca kisah Mi'raj Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan mengadakan makan-makan dan pesta-pesta. Ini termasuk bid'ah yang munkar. Biasanya mereka membaca kisah Mi'raj yang dinisbatkan kepada Ibnu 'Abbas, padahal semuanya dusta dan menyesatkan.
Perayaan ini tidak boleh dikerjakan berdasarkan pertimbangan berikut ini:
Para ahli ilmu berselisih pendapat tentang penentuan tanggal terjadinya peristiwa besar ini. Tidak ada dalil shahih yang menentukan malam tersebut, begitu juga bulannya. Dan setiap hadits yang menentukan waktu terjadinya malam tersebut adalah hadits lemah menurut para ulama hadits.
- Bahkan sekiranya ada dalil shahih yang menentukan kapan terjadinya Isra’-Mi’raj maka tidak boleh bagi kaum muslimin mengkhususkannya dengan ibadah-ibadah tertentu yang tidak pernah disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
- Pada malam perayaan tersebut, biasanya, terjadi perkara-perkara yang munkar. Sebagian ulama berkata, "Banyak orang terjerumus ke dalam kemungkaran dengan perayaan yang mereka lakukan pada malam tersebut. Mereka membuat-buat banyak kebid'ahan di dalamnya, seperti berkumpul di masjid dengan menyalakan lilin dan lampu di dalamnya."
Dan setiap hadits yang menentukan malam terjadinya Isra'-Mi'raj adalah hadits lemah menurut para ulama hadits.
Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Bazz
Syaikh Abdul Aziz bin Bazz rahimahullah berkata, "Malam ini, yaitu malam Isra'-Mi'raj, tidak ada hadits shahih yang menentukan pasti (waktunya), apakah di bulan Rajab atau selainnya. Dan setiap riwayat yang menentukan waktu terjadinya malam tersebut adalah lemah menurut para ulama hadits.
Dan tentang hikmah Ilahiyyah dengan tidak diketahuinya waktu dan pada malam keberapa secara pasti telah disebutkan oleh Syaikh sebagai berikut: "Dan dilupakannya manusia akan waktu terjadinya merupakan hikmah besar yang dikehendaki oleh Allah 'Azza wa Jalla. Bahkan sekiranya ada dalil shahih yang menentukan kapan terjadinya Isra’-Mi’raj maka tidak boleh bagi kaum muslimin mengkhususkannya dengan ibadah-ibadah tertentu dan tidak boleh pula merekamerayakannya. Sebabnya, karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya radhiyallahu 'anhum tidak pernah merayakannya dan tidak pula mengkhususkan malam tersebut dengan sesuatu kegiatan.
Seandainya perayaan tersebut disyari'atkan tentu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah menjelaskannya kepada ummatnya, baik dengan perkataan ataupun dengan perbuatan. Seandainya hal itu pernah dilakukan pasti sudah diketahui dan dikenal, dan tentu para sahabat akan menukilkan kepada kita karena mereka telah menukil segala sesuatu yang bersumber dari Nabi mereka shallallahu 'alaihi wasallam, segala sesuatu yang dibutuhkan oleh ummat ini. Mereka tidak pernah lalai menyampaikan sesuatu yang berhubungan dengan Ad-Dien, bahkan mereka adalah orang-orang yang bersegera kepada setiap kebaikan. Maka seandainya perayaan peringatan pada malam tersebut disyari'atkan tentu mereka orang yang paling pertama melakukannya. . . " Sampai akhir ucapan beliau.
Seandainya perayaan tersebut disyari'atkan tentu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah menjelaskannya kepada ummatnya, . .
Hudzaifah radliyallah 'anhu berkata, "Setiap ibadah yang tidak dilakukan oleh para sahabat Rasulullah maka jangan kamu beribadah dengannya."
Said bin Jubair rahimahullah juga telah mengatakan, "Apa yang tidak dikenal oleh ahli Badar bukanlah bagian dari Ad Dien."
Ringkasnya, bahwa bid'ah yang bentuknya mengada-adakan amal baru dalam Islam dan merubah ajarannya, adalah belenggu dan beban yang menghabiskan waktu dan biaya serta membuat capek saja. Tidak ada pahala yang dipanen dan kebaikan yang dipetik. Bahkan termasuk maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya karena mengamalkan ibadah yang tidak diizinkan oleh Allah dan tidak dicontohkan oleh Rasul-Nya. Ini merupakan bentuk menyalahi keduanya. Maka benar sebuah ungkapan, "Kebaikan terletak pada itiiba' (mengikuti) orang-orang terdahulu dan keburukan adalah terletak pada kebid'ahan yang dibuat oleh generasi belakangan."
Amal bid'ah adalah belenggu dan beban yang menghabiskan waktu dan biaya serta membuat capek saja. Tidak ada pahala yang dipanen dan kebaikan yang dipetik.
Semoga Allah melimpahkan kepada kita keikhlasan dalam beribadah kepada-Nya, ittiba' (mengikuti tuntunan) sunnah Nbai-Nya dan meninggal di atasnya. Semoga shalawat dan salam selalu terlimpah kepada Rasul dan Nabi kita Muhammad, beserta keluarga dan para sahabatnya. Wallahu a'lam. .

RAJAB

Keutamaan Bulan Rajab dalam Timbangan

Allah telah memuliakan beberapa hari, malam, dan bulan atas sebagian yang lainnya. Semua ini sesuai dengan hikmah ilahiyah yang sangat dalam. Tujuannya, agar para hamba lebih giat melaksanakan kebaikan dan memperbanyak amal shalih di dalamnya. Tetapi, syetan dari jenis manusia dan jin senantiasa berusaha menghalangi mereka dari jalan yang lurus dan mengintai mereka dari segala penjuru agar tidak jadi melaksanakan kebaikan-kebaikan. Syetan juga menipu umat manusia dengan menanamkan keyakinan bahwa saat-saat yang utama dan penuh rahmat tersebut adalah kesempatan  mereka untuk berleha-leha dan bersantai serta menuruti nafsu dan syahwat.
Syetan juga menggoda kelompok yang lain -biasanya dari kalangan juhal yang terlihat agamis, para pemimpin, dan tokoh masyrakat- dengan ditakut-takuti akan kehilangan kesempatan memperoleh pahala yang besar sehingga mereka berlomba-lomba menciptakan ibadah baru (bid'ah) yang tidak pernah Allah turunkan perintah tentangnya.
Hassan bin 'Athiyah berkata, "Tidaklah suatu kaum membuat kebid'ahan dalam agama mereka kecuali Allah mencabut perkara sunnah dari mereka yang semisal, dan tidak akan mengembalikannya kepada mereka hingga hari kiamat." (Al-Hilyah: 6/73)
Bahkan Ayyub Al-Syakhtiyani mengatakan, "Tidaklah pelaku bid'ah bersungguh-sungguh dalam kebid'ahannya kecuali akan menambah jauh dari Allah," (Al-Hilyah: 3/9)
Di antara perkara yang paling nampak dari kebid'ahan dari musim tersebut adalah perbuatan bid'ah yang telah dikerjakan oleh sebagian ahli ibadah di pelosok negeri pada bulan Rajab. Berikut ini kami tampilkan beberapa persoalan yang sudah diperbincangkan para ulama untuk mengingatkan umat dari mengada-adakan perkara baru dalam berislam.
"Tidaklah pelaku bid'ah bersungguh-sungguh dalam kebid'ahannya kecuali akan menambah jauh dari Allah," (Al-Hilyah: 3/9)
Apakah Rajab memiliki keutamaan khusus dibandingkan bulan lainnya?
Ibnul Hajar rahimahullah berkata, "Tidak ada hadits shahih yang bisa dijadikan hujjah (argument) untuk menunjukkan keutamaan bulan Rajab baik dengan puasanya, berpuasa pada hari-hari tertentu daripadanya dan qiyamullail yang khusus di dalamnya. Telah ada orang yang mendahuluiku dalam memastikan hal itu yaitu Imam Abu Ismail Al-Harawi al-Haafidz, kami telah meriwayatkan darinya dengan sanad yang shahih, begitu juga kami telah meriwayatkan pula dari yang selainnya." (Tabyin al-'Ajab bimaa Warada fii Fadhli Rajab, Ibnul Hajar, hal. 6. Lihat pula Al-Sunan al-Mubtadi'aat, Imam al-Syuqairi, hal. 125)
Beliau berkata lagi, "Adapun hadits yang menerangkan tentang keutamaan Rajab, atau keutamaan shiyamnya, atau puasa pada sebagian hari darinya sangatlah jelas, yaitu ada dua macam: Dhaif dan maudlu'. . . " (Al-Tabyiin, hal. 8)
Adapun hadits yang menerangkan tentang keutamaan Rajab, atau keutamaan shiyamnya, atau puasa pada sebagian hari darinya sangatlah jelas, yaitu ada dua macam: Dhaif dan maudlu'. . .
Shalat Raghaib
Terdapat satu riwayat dari Anas, dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang menerangkan sifat shalat Raghaib, hanya saja status riwayat tersebut maudhu' (palsu). Ringkas dari riwayat tersebut sebagai berikut:
"Tidak ada seorang pun yang berpuasa pada hari Kamis (yakni Kamis pertama dari bulan Rajab) lalu shalat antara Isya' dan pertengahan malam, yakni pada malam Jum'at sebanyak 12 rakaat, pada setiap rakaatnya dia membaca surat Al-Fatihah sekali, surat Al-Qadar 3 kali, dan surat Al-Ikhlash sebanyak dua belas kali; dia memutus setiap dua rakaat dengan salam. Dan apabila selesai dari shalatnya dia membaca shalawat atasku (Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam) 70 kali, lalu membaca dalam sujudnya, 
سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ رَبُّ الْمَلَائِكَةِ وَالرُّوحِ
"Engkau Dzat yang Mahasuci (dari kekurangan dan hal tidak layak bagi kebesaran-Mu), Mahaagung, Rabb para malaikat dan Jibril."
Lalu mengangkat kepalanya dan membaca sebanyak 70 kali,
رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَتَجَاوَزَ عَمَّا تَعْلَمُ، إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيْزُ الْأَعْظَمُ
Lalu sujud untuk yang kedua kalinya sambil membaca seperti yang dibaca pada sujud pertama, kemudian dia meminta hajatnya kepada Allah, pasti hajatnya akan dikabulkan." Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah satu orang atau satu umat yang shalat dengan shalat ini kecuali Allah akan mengampuni seluruh dosanya, walaupun seperti buih di lautan, sebanyak bilangan pasir, seberat gunung, sebanyak daun pepohonan, dan di hari kiamat dia mendapat hak untuk memberikan syafaat bagi 700 orang dari keluarganya yang seharusnya masuk ke dalam neraka." (Lihat: Ihya' Ulumid Dien, oleh Imam Al-Ghazali: 1/202 dan Tabyin al-'Ajab, Ibnul Hajar, hal. 22 dan 24)
Para ulama telah membicarakan tentang shalat Raghaib tersebut. Seperti Imam al-Nawawi rahimahullah yang menyebutkannya sebagai perkara bid'ah yang buruk dan sangat munkar, karenanya wajib ditinggalkan dan dijauhi, sedangkan pelakunya wajib diingkari." (Fatawa al-Imam al-Nawawi, hal. 57)
Ibnu Nuhaas rahimahullah berkata, "Dia adalah bid'ah, hadits yang menerangkannya adalah maudlu' (palsu) berdasarkan kesepakat ulama ahli hadits." (Tambih al-Ghafilin, hal. 497)
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, "Adapun Shalat Raghaib: tidak ada dasarnya, bahkan dia perkara yang diada-adakan dan tidak disunnahkan baik terhadap jama'ah atau perorangan. Sungguh telah disebutkan dalam Shahih Muslim, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang untuk menghususkan malam Jum'at dengan shalat malam dan pagi harinya dengan berpuasa. Sedangkan atsar yang menyebutkan tentangnya adalah dusta dan palsu dengan kesepakatan ulama, dan tiadak seorangpun dari ulama salaf dan para imam yang menyebutkan dasarnya." (Majmu' Fatawa Libni Taimiyyah: 23/132, 134, dan 135)
Imam al-Thurthusyi telah menyebutkan awal munculnya shalat ini, sebagaimana yang beliau sandarkan kepada Abu Muhammad al-Maqdisi, bahwa pada awalnya di Baitul Maqdis tidak didapati shalat model ini (shalat Raghaib) yang dikerjakan pada bulan Rajab dan Sya'ban. Perkara ini pertama kali terjadi pada tahun 448 Hijriyah. Pada saat itu ada seorang laki-laki yang dikenal dengan Ibnu Abil Hamra' yang memiliki bacaan bagus. Dia shalat di Masjid al-Aqsha pada malam nisfu Sya'ban . . .  sampai ucapan dari Abu Muhammad, "Adapun shalat Rajab tidak didapati di Baitul Maqdis kecuali setelah tahun 480 Hijriyah, yang sebelum itu kami tidak pernah melihat dan mendengar di sana." (Al-Haqadits wa al-Bida': hal. 103)
Ibnul Jauzi dalam Al-Maudhu'aat, Al-Hafidz Abul Khuthab, Abu Syamah, Ibnul Haajj, Ibnu Rajab, dan yang lainnya telah memastikan kemaudhu'an (palsunya) riwayat tentang shalat Raghaib. (Lihat Al-Baa'its 'ala Inkaril Bida' wal Hawadits, hal. 61, 62, 105; Lathaif al-Ma'arif, hal. 228 dan lainnya)
Walau demikian, banyak para tokoh dan pemimpin muslim yang tetap melestarikan ibadah bid'ah ini dengan alasan untuk menjaga perasaan orang awam dan supaya mereka tetap mau meramaikan masjidnya. Padahal siapa yang meyakini keabsahan shalat ini atau menganjurkannya maka dia telah menipu orang awam yang seharusnya dia beri petunjuk tentang hakikat yang sebenarnya dan juga telah berlaku mendustakan syariat.
Adapun Shalat Raghaib: tidak ada dasarnya, bahkan dia perkara yang diada-adakan dan tidak disunnahkan baik terhadap jama'ah atau perorangan. (Ibnu Taimiyah)
Isra' dan Mi'raj
Di antara Mu'jizat yang dialami Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah di-Isra'kannya beliau dari masjidl Haram menuju masjid al-Aqsha, kemudian di-Mi'rajkan menuju langit ke tujuh. Hampir di seluruh negeri muslim, terdapat perayaan peringatan malam Isra'-Mi'raj yang dilaksanakan pada malam ke-27 dari bulan Rajab, padahal peristiwa Isra' Mi'raj tidaklah terjadi pada malam tersebut.
Ibnul Hajar berkata, "Sebagian ahli kisah menuturkan peristiwa Isra' terjadi pada bulan Rajab." Beliau berkata, "Dan itu bohong," (Tabyin al-Ajab, hal. 6). Ibnu Rajab berkata, "Telah diriwayatkan dengan sanad yang tidak shahih, dari al-Qasim bin Muhammad bahwa Isranya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam terjadi pada tanggal 27 Rajab, dan (kesimpulan ini) telah diingkari oleh Ibrahim al Harbi dan lainnya." (Zaad al-Ma'ad, Ibnul Qayyim: 1/275)
Ibnul Hajar telah menyebutkan dalam Fathul Baari (7/242-243) beberapa pendapat tentang bulan terjadinya Mi'raj: Rajab, Rabi'ul Awal, Ramadlan, atau Syawal.
Ibnu Taimiyah juga pernah menyebutkan bahwa tidak ada dalil pasti yang menerangkan tentang bulannya dan tanggalnya. Pendapat dalam hal itu sangat banyak dan beragam, tidak ada yang dikuatkan. (Lihat Lathaif al-Ma'ruf, Ibnu Rajab, hal. 233)
Dan seandainya diketahui kepastian malam Isra' dan Mi'raj, maka tidak disyariatkan bagi seseorang mengistimewaknnya dengan ibadah dan perilaku tertentu. Sebabnya, karena tidak ada keterangan bahwa Nabi, atau para sahabat, atau Tabi'in mengistimewakan malam tersebut atas yang lainnya. Apalagi dengan mengadakan perayaan untuk memperingatinya, padahal perayaan tersebut termasuk bid'ah yang munkar.
Dan seandainya diketahui kepastian malam Isra' dan Mi'raj, maka tidak disyariatkan bagi seseorang mengistimewaknnya dengan ibadah dan perilaku tertentu.
Menyembelih di bulan Rajab
Pada dasarnya, menyembelih hewan untuk Allah pada bulan Rajab secara umum tidak dilarang, sebagaimana menyembelih pada bulan selainnya. Tapi, orang-orang jahiliyah biasa melakukan korban (penyembelihan) yang disebut dengan 'Athirah. Karenanya para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya, namun mayoritas mereka menyatakan bah hal itu telah dibatalkan oleh Islam berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam Shahihain, dari Abu Hurairah radliyallah 'anhu, "Tidak ada Fara' (anak pertama dari unta atau kambing yang disembelih sebagai persembahan bagi berhala) dan 'Athirah (hewan yang disembelih pada sepuluh hari pertama dari bulan Rajab sebagai persembahan bagi berhala, juga dikenal dengan Rajabiyah)."
Sebagian yang lain berpendapat tetap menggapnya sebagai sunnah. Dasarnya, beberapa hadits yang menunjukkan dibolehkannya. Hal ini dijawab, bahwa hadits Abu Hurairah radliyallah 'anhu lebih shahih dan kuat, maka ia yang lebih layak diamalkan. Bahkan ada sebagian ulama, seperti Ibnul Mundzir menyatakan hadits-hadits tersebut telah dinaskh (dihapus), karena masuk Islamnya Abu Hurairah yang belakangan. Maka dibolehkannya menyembelih hewan dalam rangka ta'abbudan (ibadah) pada awal Islam, lalu dinaskh, dan ini adalah pendapat yang lebih rajih. (Lihat Lathaif al-Ma'arif, hal. 227 dan Al-I'tibaar fin Naasikh wal Mansukh minal Atsar, Imam Al-Hazimi, hal. 388-390)
Imam Al-Hasan al-Bashri berkata, "Di dalam Islam tidak ada 'Athirah, sesungguhnya 'Athirah pada zaman jahiliyah, salah seorang mereka berpuasa dan ber'Athirah." (Lathaif al-Ma'arif, hal. 227)
Ibnu Rajab menyerupakan penyembelihan di bulan Rajab dengan mengadakan hari tertentu dari bulan Rajab untuk berpesta dengan makan manisan dan semisalnya. Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas radliyallah 'anhuma, dia tidak suka Rajab dijadikan hari raya." (Lathaif al-Ma'arif, hal. 227)
Menghususkan puasa dan i'tikaf di bulan Rajab
Ibnu Rajab berkata, "Adapun puasa, tidak ada keterangan yang sah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya tentang keutamaan puasa khusus pada bulan Rajab." (Lathaif al-Ma'arif, hal. 228)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata mengenai hadits-hadits tentang kekhususan berpuasa di bulan Rajab, “Seluruh hadits-haditsnya lemah, bahkan maudlu' (palsu), tidak ada seorang ulama pun yang bersandar padanya. Hadits-hadits tentang keutamaanya bukan saja dhaif tapi umumnya termasuk maudlu' dan dusta." . .  Telah diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunannya, dari Ibnu Majah, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa Beliau melarang puasa di bulan Rajab, namun dalam isnadnya masih perlu diteliti. Tapi terdapat riwayat shahih bahwa Umar bin Khathab pernah memukul tangan manusia agar mengambil makanan pada bulan Rajab dan berkata, "Jangan kalian serupakan dengan Ramadlan . . sedangkan menghususkan I'tikaf pada tiga bulan Rajab, Sya'ban, dan Ramadlan saya tidak mengetahui ada perintahnya. Tapi siapa berpuasa yang masyru' dan ingin beri'tikaf dalam puasanya itu, boleh-boleh saja. Dan jika beri'tikaf tanpa puasa terdapat dua pendapat yang masyhur menurut ahli ilmu." (Majmu' Fatawa: 25/290-292)
Puasa yang dilarang di bulan Rajab
Memang tidak ada riwayat shahih yang menyebutkan keutamaan puasa khusus bulan Rajab. Namun bukan berarti tidak boleh berpuasa sunnah sama sekali di dalamnya, padahal banyak nash-nash secara umum yang menyebutkan adanya puasa sunnah baik di bulan Rajab atau lainnya; misalnya, puasa Senin-Kamis, tiga hari setiap bulan, puasa Dawud (sehari puasa-sehari tidak). Sesungguhnya puasa yang dimakruhkan, menurut Al-Thurthusi adalah puasa dalam tiga bentuk berikut:
1. Apabila kaum muslimin menghususkan puasa setiap tahunnya, seperti yang banyak dilakukan oleh kalangan awam dan jahil terhadap syari'ah, sehingga terkesan seolah-olah hukumnya fardlu sebagaimana puasa Ramadlan.
2. Diyakini bahwa puasa tersebut hukumnya sunnah dan sangat-sangat dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sebagaimana shalat sunnah rawatib.
3. Diyakini puasa di dalamnya akan mendapat pahala besar dan fadhilah yang agung daripada puasa di bulan selainnya. Keutamaan puasa ini diyakini seperti puasa Asyura, seperti keutamaan shalat di akhir malam daripada awalnya. Dalam hal ini masuk wilayah fadhail (keutamaan) bukan wilayah sunnah atau wajib. Kalau seandainya benar seperti itu, pastinya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah menjelaskannya atau melaksanakannya walau sekali dalam hidupnya, namun jika tidak pernah melaksanakannya, maka batallah keyakinan yang memiliki keutamaan khusus.
Tidak ada riwayat shahih yang menyebutkan keutamaan puasa khusus bulan Rajab. Namun bukan berarti tidak boleh berpuasa sunnah sama sekali di dalamnya, . .
Umrah di bulan Rajab
Sebagain orang sangat bersemangat melakukan umrah pada bulan Rajab dengan keyakinan bahwa umrah pada bulan itu memiliki keistimewaan yang lebih. Keyakinan ini tidak memiliki dasar dalil. Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Ibnu Umar radliyallahu 'anhuma, berkata: "Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah melakukan umrah sebanyak empat kali, salah satunya di bulan Rajab."  Maka Aisyah berkata, "Semoga Allah merahmati Abu Abdirrahman, Tidaklah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan umrah kecuali dia ikut serta, dan sama sekali beliau tidak pernah umrah di bulan Rajab." (HR. Bukhari dalam Shahihnya no. 1776)
Hal ini menunjukkan bahwa Aisyah sepakat dengan Ibnu Umar tentang jumlah umrahnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, yaitu empat kali. Namun beliau tidak sepakat dengan Ibnu Umar tentang penetapan bulan umrahnya shallallahu 'alaihi wasallam. Aisyah menganggap Ibnu Umar lupa, karenanya beliau radliyallah 'anha menyatakan bahwa Ibnu Umar senantiasa ikut serta menemani Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam umrahnya, namun beliau tidak pernah berumrah pada bulan Rajab.
Ibnul 'Aththar berkata, "Kabar yang sampai kepadaku tentang penduduk Makkah (semoga Allah menambah kemuliaan Makkah) tentang kebiasaan mereka memperbanyak (menyeringkan) umrah pada bulan Rajab, dan kebiasaan ini adalah persoalan yang saya tidak mengetahui dasar (dalil)nya." (Al-Musajalah Baina Al-'Izz bin Abdissalam wa Ibnus Shalah, hal. 56. Lihta juga : Fatawa al-Syaikh Muhammad bin Ibrahim: 6/131)
Al-Allamah Ibnu Bazz (dalam Fatawa Islamiyah, dikoleksi Prof. Muhammad: 2/303-304) menuturkan tentang waktu yang paling afdhal untuk melaksanakan umrah: Bulan Ramadlan, berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, "Umrah di Bulan Ramadlan menyamai haji," setelah itu, Umrah di bulan Dzul Qa'dah, karena seluruh umrah beliau shallallahu 'alaihi wasallam dilaksanakan pada bulan Dzul Qa'dah. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu." (QS. Al-Ahzab: 21)
"Semoga Allah merahmati Abu Abdirrahman, Tidaklah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan umrah kecuali dia ikut serta, dan sama sekali beliau tidak pernah umrah di bulan Rajab." (HR. Bukhari dari perkataan Aisyah)
Zakat di bulan Rajab
Sebagain penduduk negeri menjadikan bulan Rajab sebagai waktu mengeluarkan zakat. Ibnu Rajab berkata, "Tidak ada dasar untuk masalah itu dalam sunnah dan tidak diketahui dari salah seorang salaf. . . pada prinsipnya: zakat wajib dikeluarkan apabila sudah sempurna haul dan cukup nishab. Setiap orang memiliki haul yang khusus (tersendiri) sesuai waktu dia memiliki nishab harta. Jika sempurna haulnya, wajib mengeluarkan zakatnya pada bulan apa saja." Kemudian beliau menyebutkan bolehnya menyegerakan zakat pada waktu yang mulia seperti Ramadlan, . . . " (Lathaif al-Ma'arif: 231-232)
Tidak ada peristiwa besar pada bulan Rajab
Ibnu Rajab berkata, "Telah diriwayatkan bahwa pada bulan Rajab terjadi beberapa peristiwa besar, padahal tidak ada keterangan yang shahih tentang hal itu. Telah diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dilahirkan pada malam pertama dari bulan tersebut, beliau diutus pada tanggal 27-nya, dan ada pendapat pada tanggal 25-nya, padahal riwayat tentang itu tidak ada yang shahih." (Lathaif al-Ma'arif: 233)
Nasihat untuk para dai
Pada hari ini banyak dai yang melestarikan beberapa perkara bid'ah musiman, seperti bid'ah di bulan Rajab. Sebenarnya sebagian mereka tahu perkara itu tidak disyariatkan, namun dengan alasan takut orang-orang tidak sibuk dengan ibadah kalau perkara bid'ah itu ditinggalkan, maka perkara bid'ah itu terus dilestarikan. Padahal perkara bid'ah adalah dosa yang paling berbahaya sesudah syirik. Ditambah cara dakwah dan metode merubah sangat berbahaya, menyelisihi petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Wajib bagi seorang da'i untuk menyeru manusia hanya kepada sunnah yang tanpanya istiqamah tidak bisa tegak.
. . Dan perkataan, amal, dan niat tidak bisa tegak kecuali sesuai dengan sunnah. . .
Sufyan al-Tsauri berkata, "Para Fuqaha' berkata, "Perkataan tidak bisa tegak tanpa amal. Perkataan dan amal tidak bisa tegak tanpa niat. Dan perkataan, amal, dan niat tidak bisa tegak kecuali sesuai dengan sunnah." (Al-Ibanah al-Kubra, Ibnu Baththah: 1/333)
Wajib bagi mereka untuk mempelajari sunnah dan mengajarkannya serta menyeru dirinya dan orang di sekitarnya untuk menerapkannya, karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang menjalankan satu amalan (ibadah) yang tidak ada perintahnya dari kami, maka dia tertolak." (Muttafaq 'alaih)
Abul 'Aliyah pernah berkata kepada murid-muridnya, "Pelajarilah Islam, jika kalian sudah mempelajarinya jangan benci kepadanya. Dan tetaplah di atas shiratal mustaqim (jalan yang lurus), sesungguhnya shiratahl mustaqim adalah Islam. Jangan menyimpang dari shiratal mustaqim, baik ke kanan maupun ke kiri. Peganglah sunnah Nabi kalian dan jauhilah hawa nafsu-hawa nafsu ini yang menyebabkan kebencian dan permusuhan di antara para pelakunya." (Al-Ibanah al-Kubra, Ibnu Baththah: 1/338)
. . .Peganglah sunnah Nabi kalian dan jauhilah hawa nafsu-hawa nafsu ini yang menyebabkan kebencian dan permusuhan di antara para pelakunya. . .
Terakhir, para du'at hari ini dan segenap umat Islam dituntut untuk mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam semata dalam setiap perkaranya secara sempurna sebagaimana dituntut untuk mengikhlaskan amal semata-mata LILLAH TA'ALA. Hal ini menjadi syarat mutlak jika mereka mengharapkan keselamatan, keberuntungan, kemuliaan dan mendapatkan pertolongan Allah 'Azza wa Jalla.
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
"Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya." (QS. Al-Kahfi: 110)
وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ
"Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) -Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa." (QS. Al-Hajj: 40)
•    Diterjemahkan (dengan sedikit penambahan) oleh Purnomo WD, dari Artikel Fadhail Syahri Rajaba Fi al-Miizaan, Faishal bin Ali Bu'dani.
Tulisan Terkait:

DZULQA'IDAH

Keutamaan dan Amalan di Bulan Dzul Qa`idah

Bulan Dzul Qa`idah adalah awal bulan haji yang kemuliaannya disebutkan oleh Allah swt dalam kitab-Nya yang mulia.

Sayyid Ibnu Thawus meriwayatakan bahwa bulan Dzul Qa`idah adalah bulan diijabahnya doa, khususnya bagi orang yang sedang kesulitan.

Tentang keutamaan bulan Dzul-Qaidah, Rasullullah saw bersabda:
“Barangsiapa yang melakukan shalat sunnah di dalamnya, maka taubatnya diterima, dosa-dosanya diampuni, musuh-musuhnya ridha pada hari Kiamat, matinya dalam keadaan beriman, agamanya tidak dicabut darinya, kuburnya diluaskan dan diterangkan, kedua orang tuanya diridhai dan dosa mereka diampuni oleh Allah, rizkinya diluaskan, sakrakatul mautnya dikasihi oleh Malaikat dan ruhnya dicabut dari jasadnya dengan mudah.”

Amalan di Bulan Dzul-Qaidah
Bagi yang ingin memperoleh keutamaan bulan ini, hendaknya mandi sunnah pada hari pertama, kemudian berwudhu’ dan melakukan shalat sunnah empat rakaat (2 kali salam). Caranya: setiap rakaat sesudah Fatihah, membaca Surat Al-Ikhlas (3 kali), An-Nas (3 kali) dan Al-Falaq (sekali). Sesudah shalat membaca Istighfar (70 kali), kemudian membaca:

لاَحَوْلَ وَلاَقُوَّةَ اِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ
Lâ Hawla walâ quwwata illâ billâhil ‘aliyil ‘azhîm.
Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung.

يَاعَزِيْزُ يَاغَفَّارُ اِغْفِرْلِي ذُنُوْبِى وَذُنُوْبَ جَمِيْعِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ. فَإِنَّهُ لاَيَغْفِرُ الذُّنُوْبَ اِلاَّ اَنْتَ
Yâ `Azîzu yâ Ghaffâru, ighfirlî dzunûbî wa dzunûba jamî`il mu’mîna wal mu’minât. Fainnahu lâ yaghfirudz dzunûba illâ Anta.
.
Wahai Yang Maha Mulia, wahai Yang Maha Pengampun, ampuni dosa-dosaku dan dosa-dosa mukminin dan mukminat, tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.

Dalam suatu riwayat disebutkan: “Barangsiapa berpuasa pada bulan yang mulia ini tiga hari: Kamis, Jum’at, dan Sabtu, Allah mencatat baginya seperti beribadah sembilan ratus tahun.”

Syeikh Ali bin Ibrahim berkata: Sungguh pada bulan-bulan yang mulia keburukan dilipatgandakan demikian juga kebaikan. Tanggal 11 Dzul Qaidah 148 H adalah hari kelahiran Imam Ali Ar-Ridha (sa). Malam tanggal 15 Dzul Qa`idah adalah malam yang penuh barakah, malam Allah memandang hamba-hamba-Nya yang mukmin dengan rahmat-Nya, memberi seratus pahala kepada orang yang beramal dalam ketaatan kepada Allah, juga kepada orang yang berpuasa yang hatinya selalu terkait dengan masjid dan matanya tidak bermaksiat kepada Allah, khususnya di dalam masjid Nabawi. Karena itu, hendaknya menghidupkan malam itu dengan ibadah, ketaatan, shalat dan memohon hajat-hajat Anda kepada Allah swt.

Dalam suatu riwayat juga disebutkan: “Barangsiapa yang memohon hajatnya kepada Allah pada malam ini, Allah akan memberi hajat yang dimohonnya.”

Tanggal 23 Dzul Qaidah tahun 200 H adalah hari wafatnya Imam Ali Ar-Ridha (sa). Sebagian ulama berkata: Pada hari ini disunnahkan berziarah kepada Imam Ar-Ridha (sa) dari dekat atau dari kejauhan. Sayyid Ibnu Thawus berkata di dalam kitabnya Al-Iqbal: Aku temui dalam sebagian kitab-kitab sahabat-sahabat kami (semoga Allah merahmati mereka): Pada hari ini, tanggal 23 Dzul Qaidah disunnahkan berziarah kepada Imam Ali Ar-Ridha (sa) dari dekat atau dari kejauhan.

Tanggal 25 Dzul Qa`idah dan Amalannya
Malam Tanggal 25 Dzul Qaidah adalah malam bumi dibentangkan dari bawah Ka’bah di atas air. Malam ini adalah malam yang mulia, malam diturunkannya rahmat Allah swt. Barangsiapa yang bangun malam untuk beribadah, ia akan memperoleh pahala yang tak terhingga.

Diriwayatkan dari Al-Hasan bin Ali Al-Wasysya’, ia berkata: Pada suatu ketika aku bersama ayahku, ketika itu aku masih kecil, kemudian kami makan malam di dekat makam Imam Ali Ar-Ridha (sa), malam itu adalah malam tanggal 25 Dzul-Qaidah, ia berkata kepadanya: malam 25 Dzul-Qaidah adalah malam kelahiran Nabi Ibrahim (as) dan Nabi Isa (as), malam ini adalah malam dibentangkannya bumi dari bawah Ka’bah. Barangsiapa yang berpuasa pada hari ini, nilainya sama dengan berpuasa 60 bulan.

Hari ke 25 adalah hari dibentangkannya bumi. Hari ini adalah termasuk hari yang empat, yang utama dan istimewa untuk berpuasa setiap tahun. Hari ini adalah hari Allah swt menebarkan rahmat-Nya, hari beribadah dan berkumpul untuk berdzikir kepada Allah, dan pahalanya sangat besar.

Dalam riwayat yang lain juga dikatakan bahwa selain puasa, ibadah, dzikir dan mandi, ada dua lagi amalan, yaitu:

Pertama: Melakukan shalat sebagaimana yang diriwayatkan dalam kitab-kitab Ahlul bait (sa). Yaitu, shalat dua rakaat pada waktu Dhuha. Caranya, setelah Fatihah membaca surat Asy-Syams (5 kali), dan setelah salam membaca:

لاَحَوْلَ وَلاَقُوَّةَ اِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ
Lâ hawla wa lâ quwwata illâ billâhil ‘Aliyil ‘Azhîm.

Kemudian membaca doa:
بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على محمد وآل محمد
يَامُقِيْلَ الْعَثَرَاتِ اَقِـلْنِى عَثْرَتِى. يَامُجِيْبَ الدَّعَوَاتِ اَجِبْ دَعْوَتِى. يَاسَامِعَ اْلاَصْوَاتِ اِسْمَعْ صَوْتِى. وَارْحَمْنِي وَتَجَاوَزْ عَنْ سَيِّئَاتِي وَمَاعِنْدِى يَاذَالْجَلاَلِ وَاْلاِكْرَامِ


Bismillâhir Rahmânir Rahîm
Allâhumma shalli ‘alâ Muhammad wa âli Muhammad


Yâ Muqîlal ‘atsarati aqilnî ‘atsratî. Yâ Mujîbad da`awâti ajib da`watî. Yâ Samî’al ashwati isma’ shawtî warhamni wa tajâwaz `an sayyiâti wa mâ ‘indî yâ Dzal jalâli wal ikrâm.

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang
Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Rasulullah dan keluarganya

Wahai Yang Mengampuni dosa-dosa, ampuni dosaku. Wahai Yang Memperkenankan setiap doa, perkenankan doaku. Wahai Yang Mendengar semua suara, dengarlah suaraku, kasihanilah daku, dan ampunilah kejelekan-kejelekanku, wahai Yang Memiliki keagungan dan kemuliaan.

Kedua: disunnahkan membaca doa berikut:

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على محمد وآل محمد

Bismillâhir Rahmânir Rahîm
Allâhumma shalli ‘alâ Muhammad wa âli Muhammad

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang
Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Rasulullah dan keluarganya

اَللّهُمَّ داحِيَ الْكَعْبَةِ، وَفالِقَ الْحَبَّةِ، وَصارِفَ اللَّزْبَةِ، وَكاشِفَ كُلِّ كُرْبَة، اَسْاَلُكَ في هذَا الْيَوْمِ مِنْ اَيّامِكَ الَّتي اَعْظَمْتَ حَقَّها، وَاَقْدَمْتَ سَبْقَها، وَجَعَلْتَها عِنْدَ الْمُؤْمِنينَ وَديعَةً، وَاِلَيْكَ ذَريعَةً، وَبِرَحْمَتِكَ الْوَسيعَةِ اَنْ تُصَلِّيَ عَلى مُحَمَّد عَبْدِكَ الْمُنْتَجَبِ فِى الْميثاقِ الْقَريبِ يَوْمَ التَّلاقِ، فاتِقِ كُلِّ رَتْق، وَداع اِلى كُلِّ حَقِّ، وَعَلى اَهْلِ بَيْتِهِ الاَْطْهارِ الْهُداةِ الْمَنارِ دَعائِمِ الْجَبّارِ، وَوُلاةِ الْجَنَّةِ وَالنّارِ

Allâhumma dâhiyal ka’bati wa fâliqal habbati wa sharifal lazbati wakâsyifa kulli kurbatin. As-aluka fî hâdzal yawmi min ayyâmika. Allatî a’zhamta haqqahâ wa aqdamta sabqahâ. Wa ja’altahâ ‘indal mu’minîna wadî’atan. Wa ilayka dzarî’atan. Wa birahmatikal wasî’ati an tushalliya `alâ muhammadin `abdikal muntajabi fil mîtsâqil qarîbi, yawmat talâq. Fâtiqi kulli ratqin, wa dâ’in ilâ kulli haqqin. Wa `alâ ahli baytihil athhâr alhudâtil manâri, da`âimil jabbâr wa wulâtil jannati wan nâri.

Ya Allah, wahai Yang Membentangkan Ka’bah, wahai Yang Membelah biji-bijian, wahai Yang merubah kekuatan, wahai Yang Menghilangkan setiap derita. Aku memohon kepada-Mu pada hari ini, yaitu hari di antara hari-hari-Mu yang Kau muliakan haknya, yang Kau dahulukan keagungannya, yang Kaujadikan bagi orang-orang yang beriman sebagai titipan, dan wasilah kepada-Mu dengan rahmat-Mu yang luas. Sampaikan shalawat kepada Muhammad, hamba-Mu yang mulia dalam Perjanjian yang dekat pada hari kiamat, hamba-Mu, pembuka setiap kemaslahatan, dan penyeru kebenaran; sampaikan juga shalawat itu kepada keluarganya yang suci, pembimbing pada cahaya, kepercayaan Zat Yang Maha Perkasa, pemegang kunci surga dan neraka.

وَاَعْطِنا في يَوْمِنا هذا مِنْ عَطائِكَ الَْمخْزوُنِ غَيْرَ مَقْطوُع وَلا مَمْنوُع، تَجْمَعُ لَنا بِهِ التَّوْبَةَ وَحُسْنَ الاَْوْبَةِ، يا خَيْرَ مَدْعُوٍّ، وَاَكْرَمُ مَرْجُوٍّ، يا كَفِيُّ يا وَفِيُّ

Wa a’thinâ fî yawminâ hâdzâ min `athâikal makhzûni ghayri maqthû’in walâ mamnû`in. Tajma`u lanâ bihit tawbata wa husnal awbah. Yâ Khayra mad`uwwin wa Akrama marjuwwin, yâ Kafiyyu yâ Wafiyyu.

Pada hari yang agung ini anugrahkan kepada kami karunia-karuniaMu yang tersimpan, yang tak terputus dan tak terhalangi, sehingga dengannya Kau himpunkan bagi kami taubat dan kebaikan penyesalan. Wahai Tumpuan Yang Terbaik, wahai Harapan Yang Termulia, wahai Yang Maha Mencukupi, wahai Yang Maha Menepati janji-Nya,

يا مَنْ لُطْفُهُ خَفِيٌّ اُلْطُفْ لي بِلُطْفِكَ، وَاَسْعِدْني بِعَفْوِكَ، وَاَيِّدْني بِنَصْرِكَ، وَلا تُنْسِني كَريمَ ذِكْرِكَ بِوُلاةِ اَمْرِكَ، وَحَفَظَةِ سِرِّكَ، وَاحْفَظْني مِنْ شَوائِبِ الدَّهْرِ اِلى يَوْمِ الْحَشْرِ وَالنَّشْرِ، وَاَشْهِدْني اَوْلِياءِكَ عِنْدَ خُرُوجِ نَفْسي، وَحُلُولِ رَمْسي، وَانْقِطاعِ عَمَلي، وَانْقِضاءِ اَجَلي
Yâ Man luthfuhu khafiyyun ulthuf lî biluthfika. Wa as`idnî bi’afwika. Wa ayyidnî binashrika. Walâ tansanî karîma dzikrika biwulâti amrika wa hafazhati sirrika. Wa ashidnî min syawâyibid duhûri ilâ yawmil hasyri wan nasyri. Wa asyhidnî awliyâika `inda khurûji nafsî wahulûli ramsî wanqithâ`i `amalî wanqidhâi ajalî.

Wahai Yang karunia-Nya tersembunyi, anugrahkan padaku karunia-Mu dengan kelembutan-Mu. Tolonglah daku dengan ampunan-Mu. Kokohkan aku dengan pertolongan-Mu. Jangan lupakan daku pada kemuliaan sebutan-Mu dengan menjalankan perintah-Mu dan memelihara rahasia-Mu. Lindungi daku dari keburukan-keburukan zaman hingga hari kiamat. Perlihatkan padaku para kekasih-Mu saat kematian menjemputku, saat kuburku telah disiapkan, saat amalku diputuskan dan ajalku ditetapkan.

اَللّهُمَّ وَاذْكُرْني عَلى طُولِ الْبِلى اِذا حَلَلْتُ بَيْنَ اَطْباقِ الثَّرى، وَنَسِيَنِى النّاسُونَ مِنَ الْوَرى، وَاحْلِلْني دارَ الْمُقامَةِ، وَبَوِّئْني مَنْزِلَ الْكَرامَةِ، وَاجْعَلْني مِنْ مُرافِقي اَوْلِيائِكَ وَاَهْلِ اجْتِبائِكَ وَاصْطَفائِكَ، وَباركْ لي في لِقائِكَ، وَارْزُقْني حُسْنَ الْعَمَلِ قَبْلَ حُلُولِ الاَْجَلِ، بَريئاً مِنَ الزَّلَلِ وَسوُءِ الْخَطَلِ
Allâhumma wadzkurnî ‘alâ thûlil bilâ. Idzâ halalta bayna atbâqits tsarâ, wa nasiyanin nâsûna minal warâ. Wa ahlinî dâral muqâmati, wa bawwi`nîmanzilal karâmati. Waj’alnî min murâfiqi awliyâika wa ahliahibbâika washthifâika. Wa bâriklî fî Liqâika. Warzuqni husnal amali qabla hulûlil ajali barîan minaz zalali wa sûil khathali.

Ya Allah, ingatkan aku pada cobaan yang panjang masanya ketika Kau anugerahkan padaku kekayaan, saat dan manusia melupakanku. Tempatkan daku di tempat yang mulia. Jadikan aku sahabat para kekasih-Mu dan keluarga kekasih-Mu dan pilihan-Mu.
Berkahi daku dalam perjumpaan dengan-Mu. Anugerahi daku amal yang terbaik sebelum ajal menjemputku, Sucikan daku dari segala dosa dan perbuatan yang hina.

اَللّهُمَّ وَاَوْرِدْني حَوْضَ نَبِيِّكَ مُحَمَّد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ، وَاسْقِني مِنْهُ مَشْرَباً رَوِيّاً سائِغاً هَنيئاً لا اَظْمَأُ بَعْدَهُ وَلا اُحَلاَُّ وِرْدَهُ وَلا عَنْهُ اُذادُ، وَاجْعَلْهُ لي خَيْرَ زاد، وَاَوْفى ميعاد يَوْمَ يَقُومُ الاَْشْهادُ
Allâhumma wa awwridnî hawdha nabiyyika Muhammadin shallallâhu ‘alayhi wa âlihi. Wasqinî minhu masyraban rawiyyan sâighan hanîan lâ azhmau ba’dahu walâ uhallau wirdahu walâ ‘anhu udzâd. Waj’alhulî khayra zâdin wawfâ mî`âdin yawma yaqûmul asyhâd.

Ya Allah, bawalah daku ke telaga Nabi-Mu Muhammad saw. Berilah daku dari telaganya minuman yang segar, yang tak akan haus lagi sesudahnya, dan selalu rindu untuk kembali padanya. Karuniakan padaku sebaik-baik bekal saat janji-Mu ditegakkan dan para saksi di hadapkan.

اَللّهُمَّ وَالْعَنْ جَبابِرَةَ الاَْوَّلينَ وَالاْخِرينَ، وَبِحُقُوقِ اَوْلِيائِكَ الْمُسْتَأثِرِينَ اَللّهُمَّ وَاقْصِمْ دَعائِمَهُمْ وَاَهْلِكْ اَشْياعَهُمْ وَعامِلَهُمْ، وَعَجِّلْ مَهالِكَهُمْ، وَاسْلُبْهُمْ مَمالِكَهُمْ، وَضَيِّقْ عَلَيْهِمْ مَسالِكَهُمْ، وَالْعَنْ مُساهِمَهُمْ وَمُشارِكَهُمْ

Allâhumma waal’an jabâbiratal awwalîna wal âkhirîna lihuqûqi awliyâikal musta’tsirîn. Allâhumma waqshim da`âimahum. Wa ahlik asyyâ`ahum wa`âilahum. Wa `ajjil mahâlikahum Waslubhum mamâlikahum. Wadhayyiq ‘alayhim masâlikahum. Wal`an musâhimahum wa masyârikahum.

Ya Allah, laknatlah orang-orang yang menzalimi hak para kekasih-Mu, dari dahulu hingga sekarang. Ya Allah, hancurkan benteng-benteng mereka. Binasakan pengikut-pengikut mereka dan keluarga mereka. Percepatlah kebinasaan mereka. Porakporandakan kerajaan mereka. Sempitkan jalan mereka. Dan laknatlah sahabat-sahabat mereka dan penolong-penolong mereka.

اَللّهُمَّ وَعَجِّلْ فَرَجَ اَوْلِيائِكَ، وَارْدُدْ عَلَيْهِمْ مَظالِمَهُمْ، وَاَظْهِرْ بِالْحَقِّ قائِمَهُمْ، وَاجْعَلْهُ لِدينِكَ مُنْتَصِراً، وَبِاَمْرِكَ في اَعْدائِكَ مُؤْتَمِراً

Allâhumma wa `ajjil faraja awliyâika. Wardud ‘alayhim mazhâlimahum. Wa azhhir bilhaqqi qâimahum. Waj`al lidînika muntashiran wa biamrika fî a`dâika mu’tamirâ.

Ya Allah, percepatlah kehadiran kekasih-Mu. Patahkan kezaliman musuh-musuh mereka.
Tampakkan kebenaran dengan kehadiran shahibuz zaman. Jadikan ia penolong agama-Mu, dengan ketentuan-Mu jadikan ia penguasa musuh-musuh-Mu.

اَللّهُمَّ احْفُفْهُ بِمَلائِكَةِ النَّصْرِ وَبِما اَلْقَيْتَ اِلَيْهِ مِنَ الاَْمْرِ في لَيْلَةِ الْقَدْرِ، مُنْتَقِماً لَكَ حَتّى تَرْضى وَيَعوُدَ دينُكَ بِهِ وَعَلى يَدَيْهِ جَديداً غَضّاً، وَيَمْحَضَ الْحَقَّ مَحْضاً، وَيَرْفُضَ الْباطِلَ رَفْضًا

Allâhummahfufhu bimalâikatin nashri, wa bimâ alqayta ilayhi minal amri fî laylatil qadri muntaqaqiman laka. Hattâ tardhâ wa ya’ûda dînuka bihi wa ’alâ yadayhi jadîdan ghadhdhan. Wa yamhadhal haqqa mahdhan, wa yarfudhal bâthila rafdhâ.

Ya Allah, bentengi ia dengan para Malaikat pemberi pertolongan, dengan perkara yang Kau sampaikan kepadanya pada malam al-Qadar sebagai pembalasan dari-Mu. Sehingga Engkau ridha pada kami dan agama-Mu kembali bersamanya dalam keadaan jernih dan suci. Tegakkan kebenaran dengan jelas-jelasnya, dan hancurkan kebatilan dengan kehancuran yang sebenarnya.

اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ وَعَلى جَميعِ آبائِهِ، وَاجْعَلْنا مِنْ صَحْبِهِ وَاُسْرَتِهِ، وَابْعَثْنا في كَرَّتِهِ حَتّى نَكُونَ في زَمانِهِ مِنْ اَعْوانِهِ، اَللّهُمَّ اَدْرِكْ بِنا قِيامَهُ، وَاَشْهِدْنا اَيّامَهُ، وَصَلِّ عَلَيْهِ وَارْدُدْ اِلَيْنا سَلامَهُ، وَالسَّلامُ عَلَيْهِ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكاتُهُ


Allâhumma shalli `alayhi wa `alâ jamî’i abâihi, waj`alnâ min shabihi wa usratihi. Wab’atsnâ fî kurratihi hattâ nakûna fî zamânihi min a`wânihi. Allâhumma adrik binâ qiyâmuhu, wa asyhidnâ ayyâmahu wa shalli `alâ Muhammadin wa âlihi. Wardud ilaynâ salâmahu wassalâmu `alayhi wa `alayhim wa rahmatullâhi wa barakâtuh.

Ya Allah, sampaikan shalawat kepadanya dan bapak-bapaknya. Jadikan kami sahabatnya dan keluarganya. Bangkitkan kami dalam perjuangannya sehingga kami menjadi pasukannya di zamannya.

Ya Allah, pertemukan kami dengan kehadirannya. Perlihatkan kepada kami hari-harinya.
Sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarganya, dan alirkan pada kami kedamaiannya. Semoga salam dan rahmat Allah serta keberkahan-Nya senantiasa tercurahkan kepadanya.
(Mafâtihul Jinân: bab 2, pasal 5)

Wassalamu’alaikum wr.wb
http://id.alfusalam.web.id
http://shalatdoa.blogspot.com

DZULHIJJAH

KEUTAMAAN SEPULUH HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH

KEUTAMAAN SEPULUH HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH
Sesungguhnya termasuk sebagian karunia Allah dan anugerah-Nya adalah Dia menjadikan untuk hamba-hamba-Nya yang shalih waktu-waktu tertentu dimana hamba-hamba tersebut dapat memperbanyak amal shalihnya. Diantara waktu-waktu tertentu itu adalah sepuluh hari (pertama) bulan Dzulhijjah. Berkenaan dengan firman Allah Ta’ala:
pic1.jpg
Demi Fajar, dan malam yang sepuluh.” (QS. Al Hajr:1-2)
Mayoritas ulama berpendapat bahwa dalam ayat ini Allah Ta’ala telah bersumpah dengan “sepuluh hari” pertama dari bulan Dzulhijjah ini. Pendapat ini pula yang dipilih oleh Ibnu Jarir ath Thabari dan Ibnu Katsir rahimakumullah dalam kitab tafsir mereka.
Hari-hari sepuluh pertama bulan Dzulhijjah ini memiliki beberapa keutamaan dan keberkahan, dan penjelasannya sebagai berikut:
PERTAMA : beramal shalih pada sepuluh hari ini memiliki keutamaan yang lebih dibanding dengan hari-hari lainnya.
Imam Al Bukhari telah meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, bahwa beliau bersabda:
Tidaklah ada amal yang lebih utama daripada amal-amal yang dikerjakan pada sepuluh hari Dzulhijjah ini.” Lalu para sahabat bertanya, “Tidak juga Jihad?” Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menjawab,”Tidak juga Jihad, kecuali seseorang yang keluar (untuk berjihad) sambil mempertaruhkan diri (jiwa) dan hartanya,lalu kembali tanpa membawa sesuatupun.” (HR. Bukhari).
Dari Said bin Jubair rahimahullah, dan dia yang meriwayatkan hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhuma yang lalu, “Jika kamu masuk ke dalam sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, maka bersungguh-sungguhlah sampai hampir saja ia tidak mampu menguasainya (melaksanakannya).” (HR. Ad Darimi, hadits hasan)
Ibnu Hajar berkata dalam kitabnya Fathul Baari: “Sebab yang jelas tentang keistimewaan sepuluh hari di bulan Dzulhijjah adalah karena pada hari tersebut merupakan waktu berkumpulnya ibadah-ibadah utama; yaitu shalat, shaum, shadaqah dan haji. Dan itu tidak ada di hari-hari selainnya.”
KEDUA : keutamaan yang lebih khusus pada hari kesembilan sebagai hari ‘Arafah.
Pada hari ini para jama’ah Haji melaksanakan wukuf di ‘Arafah, dan wukuf ini merupakan rukun utama dari ibadah Haji. Karenanya hari ini menjadi hari yang memiliki keitamaan yang agung dan keberkahan yang melimpah. Diantara keutamaannya, bahwa sesungguhnya Allah menggugurkan dosa-dosa (dosa kecil) selama dua tahun bagi orang yang berpuasa pada hari ‘Arafah.
Dari Abu Qatadah al Anshari radhiallahu anhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam pernah ditanya tentang puasa pada hari ‘Arafah, maka beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda, “(Puasa pada hari itu) mengugurkan dosa-dosa setahun yang lalu dan dosa-dosa setahun berikutnya.” (HR.Muslim)
Di sunnahkan pula untuk berpuasa ‘Arafah bagi mereka yang tidak ber Haji (yang berada di luar ‘Arafah). Sebagaimana petunjuk Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, adalah beliau berbuka (tidak berpuasa) ketika berada di ‘Arafah pada hari ‘Arafah (sedang ber haji). (lihat shaih Bukhari kitab al Hajj dan shahih Muslim kitab ash Shiyaam)
Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan, “Berbukanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam pada hari ‘Arafah itu mengandung beberapa hikmah, diantaranya memperkuat do’a di ‘Arafah, bahwa berbuka dai puasa yang wajib saja disaat perjalanan safar lebih utama , maka apa lagi dengan puasa yang hanya hukumnya sunnah…” Ibnul Qoyyim melanjutkan, “Guru kami, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengambil jalan yang berbeda dengan orang lain, yaitu bahwa hari ‘Arafah merupakan hari raya bagi mereka yang sedang berwukuf di ‘Arafah dikarenakan pertemuan mereka disana, seperti pertemuan mereka di hari raya (yaumul ‘Ied), dan pertemuan ini hanya khusus bagi mereka yang berada di ‘Arafah saja, tidak bagi yang selain mereka…” (Zaadul Ma’aad)
Dan di antara keberkahan hari ‘Arafah berikutnya, pada hari itu banyak orang yang dibebaskan oleh Allah Ta’ala, dia mendekat ke langit dunia dan membangga-banggakan para jama’ah Haji di hadapan para Malaikat. Dari ‘Aisyah radhiallahu anha, ia berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
Tidak ada hari yang Allah lebih banyak membebaskan hamba-Nya dari adzab neraka daripada hari ‘Arafah. Sesungguhnya Dia (pada hari itu) mendekat, kemudian menbangga-banggakan mereka (para jama’ah Haji) dihadapan para Malaikat.” Lalu Dia bertanya,”Apa yang diinginkan oleh para jama’ah Haji itu?” (HR. Muslim)
Dan dari Jabir bin ‘Abdillah radhiallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda, “Pada hari ‘Arafah sesungguhnya Allah turun ke langit dunia, lalu membangga-banggakan mereka (para jama’ah Haji) di hadapan para Malaikat, maka Allah berfirman,’Perhatikan hamba-hamba-Ku, mereka datang kepada-Ku dalam keadaan kusut berdebu dan tersengat teriknya matahari, datang dari segala penjuru yang jauh. Aku bersaksi kepada kalian (para Malaikat) bahwa Aku telah mengampuni mereka.’” (HR.Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al Laalikai, dan Imam al Baghawi, hadits shahih)
KETIGA : keutamaan hari ke sepuluh bulan Dzulhijjah, yaitu ‘Iedul Adh-ha yang disebut juga yaumul Nahr.
Dalil yang menunjukkan keutamaan dan keagungan hari ‘Iedul Adh-ha adalah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Qurth radhiallahu anhu, dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bahwa beliau bersabda:
Hari teragung di sisi Allah adalah hari ‘Iedul Adh-ha (yaumul Nahr) kemudian sehari setelahnya…” (HR. Abu Dawud)
Dan hari yang agung ini dinamakan juga sebagai hari Haji Akbar. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
pic2.jpg
Dan (inilah) suatu pemakluman dari Allah dan Rasul-Nya kepada manusia pada hari haji akbar.” (QS. At Taubah:3)
Dan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam juga menyebut hari agung ini dengan sebutan yang sama. Karena sebagian besar amalan-amalan manasik Haji dilakukan pada hari ini, seperti menyembelih kurban, memotong rambut, melontar jumrah dan Thawaf mengelilingi Ka’bah. (Zaadul Ma’aad). Pada hari yang penuh berkah ini, kaum muslimin berkumpul untuk melaksanakan shalat ‘Ied dan mendengarkan khutbah hingga para wanita pun disyari’atkan agar keluar rumah untuk kepentingan ini. Sebagaimana dalam ash Shahihain, bahwa Ummu ‘Athiyyah Nusaibah binti al Harits berkata:
Kami para wanita diperintahkan untuk keluar pada hari ‘Ied hingga hingga kami mengeluarkan gadis dalam pingitan. Juga mengajak keluar wanita-wanita yang sedang haidh, berada di belakang orang-orang. Mereka bertakbir dengan takbirnya dan mereka berdo’a dengan do’anya. Mengharapkan keberkahan dan kesucian dari hari yang agung ini.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Al Hafidz Ibnu Hajar berkomentar tentang maksud dari kehadiran para wanita tersebut di hari agung ini, sehingga para wanita berhalangan tidak luput dari perintah keluar untuk menghadirinya: “Maksud dari kehadiran mereka adalah menampakkan syi’ar Islam dengan memaksimalkan berkumpulnya kaum muslimin agar barakah hari yang mulia ini dapat meliputi mereka semua.” (Fathul Baari)
Pada hari ini dan setelahnya, yaitu pada hari-hari tasyriq, kaum muslimin bertaqarrub kepada Allah Ta’ala melalui penyembelihan hewan kurban. Dan menyembelih hewan kurban merupakan sebuah syi’ar yang agung dari syi’ar Islam.
Namun apakah sepuluh hari Dzulhijjah ini lebih mulia dari sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjawab persoalan ini dg jawaban yg tuntas, dimana beliau menyatakan, “Sepuluh hari Dzulhijjah lebih utama daripada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Dan sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan lebih utama dari sepuluh malam bulan Dzulhijjah.” (Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah)
Muridnya Ibnul Qoyyim rahimahullah juga menyatakan,” Ini menunjukkan bahwa sepuluh malan terakhir dari bulan Ramadhan menjadi lebih utama karena adanya laitatul Qadr, dan lailatul Qadr ini merupakan bagian dari waktu-waktu malamnya. sedangkan sepuluh hari Dzulhijjah mejadi lebih utama karena hari-harinya (siangnya), karena didalamnya terdapat yaumun Nahr (hari berkurban), hari ‘Arafah dan hari Tarwiyah (hari ke delapan Dzulhijjah). (Zadul Maa’ad)
MACAM-MACAM AMALAN YANG DISYARI’ATKAN
1. Shalat
Disunnahkan untuk bersegera dalam melaksanakan hal-hal yang wajib dan memperbanyak amalan-amalan sunnah, karena itu adalah sebaik-baik cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Telah diriwayatkan dari Tsauban radhiallahu anhu, ia berkata, ‘Saya mendengar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
Hendaklah kamu memperbanyak sujud untuk Allah. Karenaa kamu tidak bersujud kepada Allah sebanyak satu kali sujud kecuali Allah akan mengangkatmu satu derajat dan Allah akan menghapuskan darimu satu kesalahan.” (HR. Muslim)
Ketetapan ini berlaku umum, untuk segala waktu.
2. Melaksanakan Haji dan ‘Umrah
Amal ini adalah amal yang paling utama, berdasarkan berbagai hadits shahih yang menunjukkan keutamaannya, salah satunya adalah sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam:
Dari umrah ke umrah adalah tebusan (dosa-dosa yg dikerjakan) di antara keduanya, dan haji yang mabrur balasannya tiada lain adalah surga.” (HR. Muslim)
3. Berpuasa Pada Hari-Hari Tersebut, Terutama Pada Hari ‘Arafah
Tidak disangsikan lagi bahwa puasa adalah jenis amalan yg paling utama dan yg dipilih Allah untuk diri-Nya. Disebutkan dalam hadits qudsi, artinya:
Puasa itu adalah untuk-Ku, dan Akulah yang akan membalasnya. Sungguh dia telah meninggalkan syahwat, makanan dan minumannya semata-mata karena Aku.”
Diriwayatkan dai Abu Said Al Khudri radhiallahu anhu, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah melainkan Allah pasti menjauhkan dirinya dengan puasanya itu dari api neraka selama tujuh puluh tahun.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Diriwayatkan dari Abu Qatadah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
Berpuasa pada hari ‘Arafah melebur dosa-dosa setahun sebelum dan sesudahnya.” (HR. Muslim)
Dari Hinaidah bin Khalid radhiallahu anhu, dari istrinya dari sebagian istri-istri Rasululllah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, dia berkata:
Adalah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam berpuasa pada tanggal sembilan Dzulhijjah, sepuluh Muharram dan tiga hari setiap bulan.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Nasa’i)
Imam Nawawi berkata tentang puasa sepuluh hari bulan Dzulhijjah: “Sangat di sunnahkan.”
4. Takbir, Tahlil dan Tahmid Serta Dzikir
Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
pic3.jpg
“…dan agar mereka menyebutkan nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan…” (QS. Al Hajj:28)
Para ahli tafsir menafsiri bahwa yang dimaksud dengan “hari-hari yang telah ditentukan” adalah sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Oleh karena itu, para ulama menganjurkan untuk memperbanyak dzikir pada hari-hari tersebut, berdasarkan hadits dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma yang artinya, maka perbanyaklah pada hari-hari itu tahlil, takbir, dan tahmid.”(HR. Ahmad)
Imam Bukhari rahimahullah berkata:” Ibnu Umar dan Abu Hurairah radhiallahu anhum keluar ke pasar pada hari-hari sepuluh (sepuluh hari pertama) dalam bulan Dzulhijjah seraya mengumandangkan takbir lalu orang-orang pun mengikuti takbir keduanya.”
Dia juga berkata,” Umar bertakbir dikubahnya sampai orang-orang masjid mendengarnya, maka mereka bertakbir dan bertakbir pula orang-orang yang ada di pasar-pasar sampai gemuruh takbir itu menguasai pendengaranku.”
Ibnu ‘Umar bertakbir di Mina pada hari-hari itu, bertakbir juga setelah melakukan shalat, saat berada di atas ranjangnya, di perkemahannya, di majelisnya, dan diwaktu berjalan di jalan-jalan sepanjang hari-hari itu. Disunnahkan pula untuk bertakbir dengan suara yang keras berdasarkan perbuatan Umar, anak lelakinya dan Abu Hurairah.
Bentuk Takbir
Telah diriwayatkan tentang bentuk-bentuk takbir yang diriwayatkan oleh para sahabat dan tabi’in diantaranya:
a. Allaahu akbar, Allaahu akbar, Allaahu akbar kabiraa
b. Allaahu akbar, Allaahu akbar, laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar, Allaahu akbar wa lillaahil hamdu.
c. Allaahu akbar, Allaahu akbar, Allaahu akbar, laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar, Allaahu akbar, Allaahu akbar, wa lillaahil hamdu.
Tidak boleh mengumandangkan takbir bersama-sama, yaitu dengan berkumpul pada suatu majelis dan mengucapkannya dengan satu suara. Hal ini tidak pernah dilakukan oleh para salaf. Menurut sunnah adalah masing-masing orang bertakbir sendiri-sendiri. Hal tersebut berlaku pada semua dzikir dan berdo’a, kecuali jika ia tidak mengerti sehingga ia harus belajar dengan mengikuti orang lain.
5. Taubat Serta Meninggalkan Segala Maksiat dan Dosa, Sehingga Akan Mendapatkan Ampunan dan Rahmat Allah Ta’ala.
Maksiat adalah penyebab terjauhkan dan terusirnya hamba Allah Ta’ala dan ketaatan adalah penyebab dekat dan cinta kasih Allah Ta’ala kepadanya. disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
Sesungguhnya Allah itu cemburu, dan kecemburuan Allah itu manakal seorang hamba melakukan apa yang diharamkan Allah terhadapnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
6. Banyak Beramal Shalih
Memperbanyak amalan-amalan shalih berupa ibadah sunnah seperti: shalat, sedekah, jihad, membaca Al Qur’an, amar ma’ruf nahi munkar dan lain sebagainya. Sebab amalan-amalan tersebut pada hari itu dilipatgandakan pahalanya. Amalan yang tidak utama bila dilakukan pada hari itu akan menjadi lebih utama dan dicintai Allah daripada amal ibadah pada hari lainnya meskipun merupakan amal ibadah utama. Sekalipun jihad yang merupakan amal ibadah yang utama, kecuali jihadnya orang yang tidak kembali dengan harta dan jiwanya.
7. Berkurban Pada Hari Raya Qurban dan Hari-Hari Tasyriq
Hal ini adalah sunnah Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam yakni ketika Allah menebus putranya dengan sembelihan yang agung dan juga sunnah Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Tentang keutamaan hari raya kurban , telah di jelaskan diatas dalam pasal ketiga (keutamaan yaumul Nahr) keutamaan sepuluh hari bulan Dzulhijjah.
8. Melaksanakan Shalat Idul Adh-ha dan Mendengarkan Khutbahnya.
Setiap muslim hendaknya memahami hikmah disyari’atkannya hari raya ini. Hari ini adalah hari bersyukur dan beramal kebajikan. Maka janganlah dijadikan sebagai hari keangkuhan dan kesombongan; janganlah dijadikan kesempatan bermaksiat dan bergelimang dalam kemungkaran seperti: nyanyi-nyanyian, main judi, mabuk-mabukkan dan sejenisnya. Dimana hal tersebut akan menyebabkan terhapusnya amal kebajikan yang dilakukannya selama sepuluh hari. Tentang keutamaan hari ini , telah dijelaskan sebagiannya diatas.
Selain hal-hal yang telah disebutkan diatas, hendaknya setiap muslim dan muslimah mengisi hari-hari ini dengan melakukan ketaatan, dzikir dan syukur kepada Allah, melaksanakan segala kewajiban dan menjauhi segala larangan; memanfaatkan kesempatan ini dan berusaha memperoleh kemurahan Allah agar mendapat ridha-Nya.
KEUTAMAAN HARI-HARI TASYRIQ
Hari Tasyriq adalah tiga hari (tgl 11,12,13 dzulhijjah) setelah yaumun Nahr, dinamakan hari tasyriq karena pada hari itu orang-orang mengeringkan atau mendendengkan dan menyebarkan daging kurban. (Syarhun Nawawi li Shaihi Muslim).
Allah Ta’ala berfirman:
pic4.jpg
Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.” (QS. Al Baqarah :203)
Berkata Ibnu Abbas radhiallahu anhuma: “’dalam beberapa hari yang berbilang’ adalah hari-hari tasyriq.”
Dalam Shahih Muslim dari hadits Nabisyah al Hadzali radhiallahu anhu, ia berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda, “Hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan dan minum.” Dan dalam suatu riwayat dengan tambahan: “Dzikir kepada Allah.” (HR. Muslim)
Dan terdapat pula di dalam as Sunnan dari ‘Uqbah bin Amir radhiallahu anhu bahwa dia berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
Hari ‘Arafah, hari raya kurban dan hari-hari tasyriq merupakan hari raya kita pemeluk Islam, dan dia merupakan hari-hari makan dan minum.” (HR. Abu Dawud)
Ibnu Rajab rahimahullah menyatakan,” Dalam sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bahwa hari-hari tersebut merupakan ‘hari-hari makan dan minum serta dzikir kepada Allah’, sebagai sebuah isyarat bahwa makan dan minum pada hari-hari raya tersebut merupakan mekanisme yang membantu untuk meningkatkan dzikir kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya. Sebagai bagian dari kesempurnaan mensyukuti nikmat Allah, yaitu menjadikan hari-hari makan dan minum sebagai alat yang menolongnya untuk berbuat ta’at kepada-Nya…”(Latha iful Ma’aarif, Ibnu Rajab)
Pada hari-hari ini disyari’atkan untuk bertakbir sebagaimana dilakukan oleh para Sahabat radhiallahu anhum dan generasi Salaf yang datang setelah masa mereka (para Sahabat). Takbir ini juga merupakan salah satu bentuk dari berbagai dzikir kepada Allah. Adapun waktu bertakbir, para ulama memiliki beberapa pendapat. Dan pendapat yang paling shahih dan masyhur bahwa takbir dimulai dari pagi hari ‘Arafah sampai akhir hari Tasyriq. (Tafsir Ibnu Katsir dan Fathul Baari).
Dalil-dalil yang mengidentifikasikan kemuliaan hari-hari tasyriq ini adalah jatuhnya masa pelaksanaan beberapa amalan manasik Haji pada hari-hari tasyriq tersebut, seperti hari (mabit) di Mina, hari-hari melontar jumrah, hari-hari menyembelih hewan kurban dan lain sebagainya. Dan di antara hari-hari tasyriq sendiri, maka hari yang paling utama pada periode tersebut adalah hari pertamanya, sebagaimana dalam hadits berikut:
Hari teragung di sisi Allah adalah hari ‘Iedul Adh-ha (yaumun Nahr) kemudian sehari setelahnya (yaumul qarri)…” (HR. Abu Dawud)
Dinamakan yaumul qarri karena pada hari itu mereka berada di Mina dan berdiam diri disana.
Maraji:
Kitab At Tabarruk Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu (edisi terjemahan, Amalan dan Waktu yg Diberkahi), penulis dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al Juda’i.
Kitab Ibadah Kurban Keutamaan dan Koreksi atas Berbagai Kesalahannya, penulis Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al jibrin, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Syaikh Muhammad bin Rasyid bin Abdullah al Ghufaili.
Kitab Keutamaan Sepuluh Hari Pertama Bulan Dzulhijjah, Hukum Qurban, Syari’at Aqiqah dan Fiqh Dua Hari Raya, penulis Ustadz Abdullah Shalih Al Hadrami (materi kajian majelis taklim dan dakwah Husnul Khatimah, Malang)

MUHARRAM

Rahasia Muharram dan 'Asyura

Sesungguhnya bulan Muharram merupakan bulan yang agung dan penuh berkah. Bulan pertama dalam penanggalan tahun hijriyah dan salah satu dari bulan haram yang Allah firmankan:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu." (QS. At-Taubah: 36)
Dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam; "setahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya terdapat empat bulan yang dihormati. Yang tiga berurutan, yaitu Dzul Qa'dah, dzulhijjah, dan Muharram. Sedangkan (satunya adalah) Rajab Mudhar yang berada antara Jumadil Tsaniah dan Sya'ban." (HR. Bukhari no. 2958).
Dinamakan Muharram karena dia termasuk bulan yang diharamkan (dihormati) dan keharamannya tadi diperkuat lagi dengan namanya.
Dinamakan Muharram karena dia termasuk bulan yang diharamkan (dihormati) dan keharamannya tadi diperkuat lagi dengan namanya.
Firman Allah: "Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu" maksudnya jangan kamu medzalimi dirimu sendiri pada bulan-bulan haram ini. Karena dosanya lebih besar daripada bulan-bulan selainnya.
Tentang keutamaan puasa di dalamnya, dari Abu Hurairah radliyallah 'anhu berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
"Puasa pada Syahrullah (bulan Allah) Muharram adalah puasa yang paling utama sesudah puasa Ramadlan. Sedangkan shalat malam merupakan shalat yang paling utama sesudah shalat fardlu." (HR. Muslim no. 1982)
"Puasa pada Syahrullah (bulan Allah) Muharram adalah puasa yang paling utama sesudah puasa Ramadlan." al-Hadits
Di dalam bulan ini terdapat hari 'Asyura yang pernah disabdakan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, "puasa hari 'Asyura, sungguh aku berharap kepada Allah agar menghapuskan dosa setahun yang telah lalu." (HR. Muslim no. 1975)
"puasa hari 'Asyura, sungguh aku berharap kepada Allah agar menghapuskan dosa setahun yang telah lalu." HR. Muslim
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zaadul Ma'ad (2/76), "urutan puasa ini ada tiga: Yang paling sempurna berpuasa satu hari sebelum dan sesudahnya, selanjutnya berpuasa pada hari ke sembilan dan kesepuluh -inilah yang paling banyak disebutkan hadits-, selanjutnya berpuasa hanya pada tanggal sepuluh saja."